Friday 30 June 2017

Arab Tak Berarti Habib (19): Alawi Itu Bukan Syiah, Bukan Sunni

Penulis : PROF. SUMANTO AL QURTUBY
Sumber : https://www.facebook.com/Bungmanto/posts/10158971398655523


Banyak kaum Muslim di Indonesia dan manca negara yang menganggap sekte Alawi di Suriah khususnya itu Syiah. Anggapan itu tidak benar. Atau, hanya "separuh benar" saja. Tidak benar benar benar.
Dari aspek teologi-keagamaan maupun sosial-kultural, Alawi berbeda dengan Syiah (juga Sunni). Dari aspek teologi, Alawi lebih dekat dengan Kristen karena sekte ini mengadopsi konsep "Trinitas" (Muhammad, Ali dan Salman al-Farisi). Dari aspek sosial-budaya, pengikut Alawi "lebih liberal" misalnya perempuan Alawi tidak berjilbab dan alkohol boleh dikonsumsi.
Persepsi bahwa Alawi itu bagian dari Syiah sebetulnya dibangun lantaran publik melihat hubungan dekat antara rezim Assad dan rezim Syiah Iran. Padahal, arus utama Syiah (yaitu Syiah Itsna Asyariyah atau Syiah Imamiyah atau Syiah Imam Dua Belas) dalam sejarahnya tidak pernah mengakui sekte Alawi sebagai bagian dari Syiah.
Baru pada 1974, seorang klerik kharismatik Syiah Libanon, Musa Sadr, untuk pertama kalinya mau mengakui Alawi adalah bagian dari Syiah. Meski Imam Musa Sadr mengakuinya, publik Syiah (termasuk kalangan elit agama dan kaum terdidik) tidak mudah untuk menerima ke-Syiah-an Alawi.
Jangankan kepada pengikut sekte Alawi yang konsep teologi-budayanya sangat ekstrim, kepada pengikut sekte Zaidiyah (Zaidi) atau Ismailyah (Ismaili) yang tidak ekstrim-ekstrim amat saja, Syiah mainstream enggan mengakuinya secara tulus-ikhlas. Jika pengikut Syiah saja enggan mengakui Alawi sebagai "bagian integral" mereka, apalagi pengikut Sunni yang dalam konsep teologi tidak ada mirip-miripnya sama sekali dengan Alawi.
Perlu juga dicatat, pengikut sekte Alawi adalah etnik Arab sementara Syiah Iran adalah etnik Persi. Dalam sejarah, sejak zaman bahula hingga dewasa ini, sulit untuk mengakurkan Arab-Persi ini meskipun mereka satu agama (Islam) dan satu kawasan (Timur Tengah). Anda mungkin lama mengenal "Teluk Persi" tapi itu tidak ada dalam "peta Arab" karena mereka menyebutnya "Teluk Arab" tidak mau disebut Teluk Persi. Selain itu, sekte Alawi sangat nasionalis terhadap Suriah yang dulu di zaman kolonial Perancis pernah mempunyai negara independen: Negara Alawi.
Memang dari segi kebahasaan, Alawi berarti "pengikut Ali bin Abi Thalib", sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad yang, melalui pernikahannya dengan putri beliau, Fatimah az-Zahra, melahirkan Hasan-Hussein dan keturunannya termasuk kaum asyraf dan sadah. Dari sini bisa diklaim sebagai "Syiah" karena kata "Syiah" itu juga berarti "kelompok /partai pembela / pengikut Ali".
Tetapi dari konsep teologi, sekte Alawi berbeda dengan arus utama Syiah karena pengikut Alawi tidak mengakui Imam ke-12. Menurut mereka, setelah Imam ke-11 wafat, yaitu Imam Hassan bin Ali al-Askari, imam ke-12-nya adalah Muhammad bin Nusair, bukan Muhammad bin Hassan yang dikenal dengan sebutan "Imam Mahdi". Muhammad bin Nusair (hidup pada abad ke-9 M) inilah pendiri sekte Alawi sehingga sekte ini juga dikenal dengan sebutan "Nusairisme". Muhammad bin Nusair inilah yang pada awalnya mengembangkan konsep teologi Alawi yang mengadopsi Trinitas Kristen sehingga ada dugaan kuat bahwa Alawi ini sebetulnya adalah "the lost Christianity" di Timur Tengah.
Seperti apa kisah selanjutnya? Bagaimana sejarah sekte Alawi ini? Kenapa pengikut Nusairisme itu dianggap sebagai "pengikut Nasara atau Nasrani"? Siapa saja para pentolan teolog dan tokoh agamanya yang mengembangkan sekte Alawi ini? (bersambung).
Baca juga : 

Arab Tak Berarti Habib (18): Sekte Alawi di Suriah


Arab Tak Berarti Habib (18): Sekte Alawi di Suriah

Penulis : PROF. SUMANTO AL QURTUBY
Sumber : https://www.facebook.com/Bungmanto/posts/10158966258755523?pnref=story

Banyak masyarakat, Muslim maupun non-Muslim, tidak paham tentang sekte Alawi dalam Islam. Sekte Alawi adalah kelompok minoritas agama di Suriah (sekitar 10%). Sebagian kecil pengikut sekte ini tinggal di Libanon dan Turki. Tetapi harap dicatat, sekte Alawi ini beda dengan kelompok Alevi di Turki.
Dari aspek agama, mayoritas penduduk Suriah (sekitar 18 juta) adalah Sunni, kemudian setelah itu ada Kristen, Alawi, Druze, Ismaili, Itsna Asy'ariyah, Yahudi, Yazidi, dlsb. Kelompok Alawi di Suriah kebanyakan mendiami Provinsi Latakia dan sebagian menyebar di Provinsi Homs, yang lain mendiami kota Damaskus dan Aleppo.
Meskipun minoritas, kelompok Alawi mengontrol jalannya politik-kekuasaan dan pemerintahan di Suriah yang sejak 2011 terlibat Perang Sipil ini. Hal itu terjadi karena pendiri Republik Arab Suriah modern, Hafez al-Assad, adalah dari sekte Alawi ini. Presiden Bashar al-Assad yang kini memerintah Suriah sejak tahun 2000 adalah putra Hafez al-Assad ini.
Sejak memimpin Suriah di awal 1970an, rezim al-Assad mengontrol politik dan pemerintahan dengan menunjuk para top birokrat, petinggi militer, dan komandan intelejen dari kalangan Alawi. Alasannya tentu saja untuk mengamankan jalannya roda pemerintahan, maka akan lebih baik menunjuk orang-orang yang bisa dipercaya tidak menjadi "Bruthus" di kemudian hari.
Meski demikian, bukan berarti kelompok Alawi tidak berpatron dengan Sunni dan kepentingan Sunni secara mutlak diabaikan begitu saja. Juga, bukan berarti masyarakat kecil pengikut Alawi hidup makmur sejahtera karena memiliki "rezim Alawi". Sama sekali bukan. Masalahnya tidak sesimpel yang kita bayangkan. Dunia itu tidak "hitam-putih" choy. Ingat itu.
Meskipun begitu, ketika Perang Sipil berkecamuk sejak 2011 yang membuat Suriah kini porak poranda, mayoritas pengikut Alawi membela sang rezim dengan bergabung di kelompok milisi Shabiha, National Defense Forces, dan grup paramilitary lain. Sementara sebagian pengikut Sunni bergabung ke kelompok oposisi seperti Jabhat Fatah al-Syam, Ahrar al-Syam, dlsb.
Kenapa pengikut Alawi membela Rezim Assad? Sebagian karena loyalitas kepada keluarga Assad, sebagian lain karena takut dan khawatir kalau rezim Sunni berkuasa, mereka akan menjadi target diskriminasi dan penindasan seperti yang mereka lakukan dalam sejarah kepolitikan Islam. Memang, selama berabad-abad, kelompok Alawi menjadi korban persekusi, prosekusi, diskriminasi, dan "si-si" lainnya karena mereka dituduh heretik dan dikafir-sesatkan baik oleh Sunni maupun oleh Syiah.
Lalu, seperti apakah sistem-kepercayaan Alawi itu? Apa perbedaan fundamental antara Alawi dengan arus utama Sunni maupun Syiah? Kenapa Sunni dan Syiah menyesatkan mereka? Kapan kelompok Alawi ini muncul? Bagaimana sejarahnya? Bersambung lagi deh. Capek ngetik bok he he
Baca juga : 

Arab Tak Berarti Habib (17): Republik Arab Suriah


Thursday 22 June 2017

Arab Tak Berarti Habib (17): Republik Arab Suriah

Penulis : PROF. SUMANTO AL QURTUBY
sumber : https://www.facebook.com/Bungmanto/posts/10158961116575523

Syria atau Suriah (Bahasa Arab: Suriya) yang nama lengkapnya adalah Republik Arab Suriah (al-Jumhuriyah al-Arabiyyah al-Suriyah) adalah sebuah negara di Timur Tengah atau Asia Barat berpenduduk sekitar 18 juta. Negara ini berbatasan dengan Libanon, Turki, Irak, Yordania, dan Israel.

Dalam literatur Bahasa Inggris, nama Suriah ini sama dengan Levant yang dalam Bahasa Arab disebut a-Syam. Itulah sebabnya ISIS disebut juga ISIL (Islamic State of Iraq and Levant). Nama al-Syam itu sangat populer dalam tradisi Islam, dan memang Suriah merupakan salah satu kawasan klasik dan bersejarah tempat berbagai kerajaan dan empirium kuno membangun peradaban termasuk Kerajaan Ebla yang legendaris itu.

Damaskus dan Aleppo adalah dua di antara kota-kota kuno yang masih bertahan hingga sekarang. Di zaman Kekhalifahan Islam, Damaskus pernah menjadi ibukota Kerajaan Umayyah, kerajaan pertama dalam sejarah kepolitikan Islam. Kesultanan Mamluk di Mesir juga pernah menjadikan Damaskus sebagai kota provinsi yang penting.

Dalam sejarah Suriah modern telah bergonta-ganti nama. Dulu di zaman Turki Usmani, kawasan ini bernama Arab Levant. Kemudian setelah Turki Usmani rontok, kawasan ini bergonta-ganti nama: pada 1920 pernah bernama Kerajaan Arab Suriah, kemudian Negara Suriah (pada waktu di bawah mandat dan kontrol Perancis). Pernah juga bernama Republik Suriah yang dideklarasikan oleh negara-negara kecil bentukan Perancis: Negara Suriah, Negara Alawi, dan Negara Jabal Druze. Perancis memang sangat berperan dalam membentuk peta sosial-kultural-politik Suriah kontemporer seperti tampak dewasa ini.

Suriah merupakan salah satu kawasan yang sangat plural dan kompleks di Timur Tengah, baik dari aspek bahasa, agama, maupun kelompok etnik. Ada banyak suku bangsa yang tinggal di kawasan ini: Arab, Yunani, Armenia, Assyria, Kurdi, Turki, Mandea, Kirkasia, dlsb. Dari aspek kelompok agama juga sangat majemuk: Sunni, Kristen, Druze, Alawi, Ismaili, Mandean, Yahudi, Yazidi, dlsb. Dengan 10%, Kristen menempati agama minoritas-mayoritas di Suriah setelah Islam, lalu disusul Druze (Druizme). Ada banyak denominasi Kristen di Suriah, yang sebagian berkembang di Indonesia.

Banyak yang mengira Suriah adalah "negara Syiah". Itu adalah keliru besar. Mayoritas penduduk Suriah adalah Arab Sunni. Hanya saja, kekuasaan dikontrol oleh "Rezim Alawi" (keluarga al-Assad). Jadi, dalam konteks Suriah, "minoritas mengontrol mayoritas" seperti di Irak zaman Saddam Hussein dulu, dimana minoritas Arab Sunni mengontrol Syiah dan Kurdi.

Apakah Alawi itu Syiah? Tidak jelas. Dalam sejarahnya arus utama Syiah juga tidak mengakui Alawi sebagai bagian dari Syiah karena dipandang "sesat" dan menyimpang dari kanon resmi kesyiahan. Jangankan pada Alwawi, kepada para pengikut Syiah Zaidiyah dan Ismailiyah saja, Syiah Imamiyah atau Itsna Asyariyah sebagai Syiah mayoritas tidak mengakui otentisitas mereka. Orang-orang Alawi (berbeda dengan Alevi di Turki atau Ba Alawi di Yaman) sendiri lebih suka menyebutnya "Alawi" ketimbang Syiah.

Bagaimana kisah selanjutnya kenapa Alawi bisa menguasai pemerintahaan Suriah? Dan seperti apakah sebetulnya "jenis kelamin" dari sekte Alawi itu? (bersambung).
#RepublikArabSuriah
#ArabTakBerartiHabib

Wednesday 21 June 2017

Pelintirisasi Para Haters: dari cebok sampai liberal

Penulis : Nadirsyah Hosen
sumber : https://www.facebook.com/NadirsyahHosen/posts/1897989673782643

Berulangkali tulisan, ceramah maupun vlog saya dipelintir oleh para haters yang dasarnya adalah kebencian, dan ini yang menyebabkan mereka gagal paham. Saya ingin kasih 3 contoh saja:
Pertama, beberapa waktu lalu ada seorang ibu di sebuah pengajian di Australia yang menganggap saya mengatakan membaca al-Qur'an itu tidak penting buat mahasiswa. Tentu saja ini tuduhan serius. Saya mengasuh majelis khataman al-Qur'an setiap bulan sejak tahun 2005 di Brisbane, kemudian di kota Wollongong dan sekarang di Melbourne. Selepas khataman Qur'an saya lanjutkan dengan pengajian tafsir. Pesertanya mahasiswa dan juga masyarakat umum. Jadi bagaimana mungkin saya dianggap mengatakan membaca al-Qur!an itu tidak penting? Dua belas tahun saya mengajak kawan-kawan untuk khataman Qur'an setiap bulannya! Ini fakta yang terang benderang.
Ibu itu keliru memahami salah satu ceramah saya tentang melakukan prioritas amal. Saya sampaikan: kalau anda masih pelajar atau mahasiswa, maka amalan utama itu adakah belajar dan menyelesaikan sekolah anda dengan baik, bukan riyadhah amalan wirid, atau baca Qur'an seharian. Kalau anda seorang pengusaha, amalan prioritas buat anda itu banyak bersedekah, bukan malah duduk berzikir di masjid. Kalau anda seorang ulama, maka amalan utama itu ya berzikir dan mengaji. Sekarang ini kok semuanya mau jadi ulama? Lantas siapa yang akan menjadi ilmuwan dan menjadi pengusaha?
Apakah mereka dilarang melalukan ibadah sunnah di atas? Tentu tidak. Namun masing-masing punya amalan prioritas, sesuai amanah dan kondisinya. Kalau anda sedang dapat amanah menyeleaikan disertasi, maka selesaikan disertasi, bukan malah 'ngeles' dengan mengerjakan amalan lainnya. Belajar dan bekerja itu juga bagian dari ibadah.
Itu konteks pembicaraan saya. Berbeda jauh kan dengan pelintiran jamaah tersebut?
Kedua, saya menyampaikan di vlog saya: "apapun aliran anda, dan siapapun anda, mari kita berusaha untuk terus menjadi orang baik!" Ajakan yang simpatik ini justru dipersoalkan oleh sebagian mahasiswa UIN Pekanbaru. Ada yang bilang kalimat saya benar tapi bertujuan batil. Mereka mempertanyakan "baik menurut siapa?" Atau "mau mengarahkan kebaikan ke versi siapa? Versi liberal?" Ada yang bilang: "Inilah cara halus Nadirsyah Hosen menggiring orang masuk paham liberal!"
Saya terus terang bingung dengan reaksi mereka: mengajak berbuat baik saja kok dipelintir kesana-kemari yah? Dan apa hubungannya dengan liberal? Konteks ucapan saya adalah: Ada Muslim yang berbuat baik. Ada pula yang tidak berbuat baik. Begitu juga dengan pemeluk agama lain. Maka mari kita semua, apapun agama kita, berusaha untuk terus berbuat baik. Kalau anda Muslim, jaidlah Muslim yang baik. kalau anda Hindu, jadilah orang Hindu yang baik. Kalau anda orang Indonesia, jadilah warga negara yang baik. Begitu seterusnya. Berbuat baiklah kepada sesama, siapapun anda, dan siapapun mereka. Begitu sulitkah memahami konsep berbuat baik ini sampai harus dipelintir kesana kemari?
Ketiga, beberapa waktu lalu ada yang yakin saya pasti masuk neraka karena saya dianggap menghina Nabi Muhammad. Apa pasal? Saya mentwit bahwa "Yg ngotot mau Islam murni spt jaman Rasul ada baiknya introspeksi diri: dulu Rasul cebok pakai batu, ente mau gitu juga sekarang? Mikirr"
Sejumlah pihak menuduh saya menghina Nabi karena mengatakan Nabi cebok dengan batu. Kemudian digoreng dan dipelintir sedemikian rupa twit saya dan dikepcer disebar kemana-mana. Konteks pembicaraan tidak mereka pahami dan tidak diikutsertakan dalam twit saya yang dikepcer itu. Buat sebagian pihak yang penting mereka bisa membunuh karakter saya; masalah konteks dan kebenaran isi twit mereka gak peduli. Entah mereka belajar akhlak Islam dimana yah?
Konteks kicauan saya di twitter itu adalah soal sebagian pihak yang ingin 100% praktek Islamnya seperti jaman Rasul tanpa memilah mana yang memang wajib kita ikuti dan mana yang berupa anjuran dan mana yang kita bisa modifikasi sesuai perkembangan jaman. Untuk mereka itulah saya ingatkan bahwa di jaman Nabi beliau SAW cebok dengan 3 batu. Kalau kita tidak paham ilmunya dan hanya mau mengikuti apapun yang Rasul perbuat ya silakan sekarang mereka cebok dengan 3 batu.
Tapi kan sekarang air banyak? Jaman Nabi air susah? Exactly this is my point. Berarti anda sudah memikirkan perbedaan situasi dan kondisi. Hal ini yang sering ditolak oleh mereka yang menganut paham Islam murni: mereka tidak peduli dengan perbedaan situasi. Nah, twit saya itu meminta mereka berpikir dengan memberi contoh yang praktis. Mungkin mereka kaget dengan contoh praktis yang menohok ini. Karena gak bisa bantah, akhirnya marah-marah dan fitnah sana-sini.
Lantas kenapa saya dianggap menghina Rasul dengan mengatakan Rasul dulu cebok dengan 3 batu. Ada yang menganggap kata cebok tidak pantas. Anda buka Kamus sajalah, istinja itu diterjemahkan sebagai cebok. Jadi kalau istinja karena bahasa Arab dianggap sopan, tapi kalau pakai bahasa Indonesia cebok dianggap gak sopan? Sebagian lagi ternyata menganggap saya berbohong bahwa Nabi pernah cebok (maaf, istinja yah?) dengan batu. Ini penghinaan, kata mereka. Tidak benar Nabi pernah cebok dengan batu. Nadirsyah Hosen mengarang cerita untuk menyesatkan umat dan menistakan Nabi!
Ternyata kawan-kawan kita itu belum pernah belajar bab istinja (cebok). Mereka tidak tahu sekian banyak Hadis Nabi yang shahih menceritakan Nabi pernah cebok dengan batu dan pernah juga dengan air. Masalah ini dibahas oleh kitab fiqh dengan detil. Yang pernah belajar di madrasah pasti paham. Jadi, sekali lagi, dimana menghinanya? Kok dipelintir kesana kemari: sampai yakin sekali saya bakal masuk api neraka?
Kalau gitu kita ngaji bab cebok dulu deh dari kitab fiqh, al-Umm karya Imam Syafi'i --biar pada ngeh bahwa saya tidak mengada-ngada, apalagi menghina Nabi. Berani antum bilang Imam Syafi'i bohong dan menghina Nabi karena membahas Nabi cebok dengan batu?
Ayo ngaji duluuuuu
Bab Istinja (cebok)
Dari kitab al-Umm karangan Imam Syafi'i
‎أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ عَنْ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -
‎ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «إنَّمَا أَنَا لَكُمْ مِثْلُ الْوَالِدِ فَإِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إلَى الْغَائِطِ فَلَا يَسْتَقْبِلُ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرُهَا بِغَائِطٍ وَلَا بَوْلٍ وَلْيَسْتَنْجِ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ» وَنَهَى عَنْ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ وَأَنْ يَسْتَنْجِيَ الرَّجُلُ بِيَمِينِهِ.
‎أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ قَالَ أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو وَجْزَةَ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ فِي الِاسْتِنْجَاءِ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ وَنَهَى عَنْ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ وَأَنْ يَسْتَنْجِيَ الرَّجُلُ بِيَمِينِهِ وَالثَّلَاثَةُ الْأَحْجَارُ لَيْسَ فِيهِنَّ رَجِيعٌ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَمَنْ تَخَلَّى أَوْ بَالَ لَمْ يُجْزِهِ إلَّا أَنْ يَتَمَسَّحَ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ أَوْ آجُرَّاتٍ أَوْ مَقَابِسَ أَوْ مَا كَانَ طَاهِرًا نَظِيفًا مِمَّا أَنْقَى نَقَاءَ الْحِجَارَةِ إذَا كَانَ مِثْلَ التُّرَابِ وَالْحَشِيشِ وَالْخَزَفِ وَغَيْرِهَا.
‎(قَالَ) : وَإِنْ وَجَدَ حَجَرًا أَوْ آجُرَّةً أَوْ صِوَانَةً لَهَا بِثَلَاثِ وُجُوهٍ
‎فَامْتَسَحَ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهَا امْتِسَاحَةً كَانَتْ كَثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ امْتَسَحَ بِهَا فَإِنْ امْتَسَحَ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَعَلِمَ أَنَّهُ أَبْقَى أَثَرًا لَمْ يُجْزِهِ إلَّا أَنْ يَأْتِيَ مِنْ الِامْتِسَاحِ عَلَى مَا يَرَى أَنَّهُ لَمْ يُبْقِ أَثَرًا قَائِمًا
‎ فَأَمَّا أَثَرٌ لَاصِقٌ لَا يُخْرِجُهُ إلَّا الْمَاءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ إنْقَاؤُهُ؛ لِأَنَّهُ لَوْ جَهِدَ لَمْ يُنَقِّهِ بِغَيْرِ مَاءٍ.
Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya aku bagaikan bapak kalian, (maka aku beritahukan) jika kalian hendak membuang hajat janganlah menghadap kiblat dan tidak pula membelakanginya baik buang air besar atau kecil, dan hendaklah kamu cebok dengan tiga batu". Dalam riwayat lain disebutkan, "saat cebok, pakailah 3 batu, dilarang pakai kotoran hewan, atau tulang dan jangan pula cebok menggunakan tangan kanan".
Berkata Imam Syafi'i: "sesiapa yang buang air besar atau kecil maka cukup baginya mengusap dengan tiga batu tiga kali, bisa pakai batu bata, kayu bakar, atau barang yang suci dan bersih yang bisa membersihkan seperti tanah, rumput, tembikar dan yang lainnya. Dan jika ia menemukan sebuah batu yang memiliki tiga sisi lalu mengusap dengan masing-masing sisi maka itu sama dengan tiga batu. Tapi kalau masih ada bekas kotorannya, maka itu tidak cukup kecuali mengusapnya kembali hingga bersih tak terlihat kotorannya lagi. Kalau bekas kotoran itu tidak bisa hilang kecuali dengan air, maka harus dibersihkan dengan air."
Demikian klarifikasi saya terhadap tiga kasus pelintirisasi. Masih banyak sebenarnya ucapan atau tulisan saya yang dipelintir. Bahkan ada pula yang menganggap saya berkata sesuatu dan memaki-maki saya karena ucapan itu, padahal saya tidak pernah bicara demikian. Kenapa anda tidak tabayun saja sih? Kebencian itu merusak kebeningan hati dan kejernihan akal pikiran.
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Friday 16 June 2017

Tragedi Abdullah bin Zubair dalam Perebutan Khalifah

Penulis : Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School


Sesama Muslim itu bersaudara. Tidak mungkin sesama umat Islam akan rebutan jabatan khalifah, apalagi institusi khilafah itu diklaim bagian dari ajaran Islam yang sempurna dan pasti benar. Sayang, kenyataannya tidak demikian. Islam tentu diyakini kebenarannya, namun khilafah adalah institusi politik yang tidak selalu bersih dan suci dari perebutan kekuasaan.
Simak kisah pertarungan kekuasaan antara Khalifah Abdullah bin Zubair dan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dalam lanjutan ngaji sejarah politik Islam di Geotimes.co.id
Saya sudah ceritakan dalam tulisan sebelumnya, Perseteruan Khalifah, Khalifah Marwan bin Hakam meninggal dan digantikan anaknya, Abdul Malik. Imam Suyuthi bertahan dengan pendapatnya bahwa yang sah itu adalah kekhilafahan yang dipimpin oleh Khalifah Abdullah bin Zubair. Sementara Muawiyah II dan Marwan tidak sah, karena dibai’at belakangan–kalah cepat dengan pembai’atan Abdullah bin Zubair.
Lalu, bagaimana dengan Abdul Malik bin Marwan? Imam Suyuthi, masih dalam kitabnya,Tarikh al-Khulafa, konsisten menganggap Abdul Malik juga tidak sah selama masih berkuasanya Abdullah bin Zubair. Baru setelah Abdullah bin Zubair wafat, maka Imam Suyuthi menganggap masa kekuasaan yang sah dari Khalifah Abdul Malik baru dihitung.
Kalau kita ikuti pendapat Imam Suyuthi ini, maka ada masa sekitar 7 tahun dari
kekuasaan Abdul Malik yang tidak dianggap sah. Abdullah bin Zubair dibai’at tahun 683 dan wafat tahun 692 (9 tahun berkuasa). Sedangkan Abdul Malik diba’iat tahun 685 dan meninggal tahun 705 (20 tahun berkuasa).
Imam Suyuthi secara apa adanya menjelaskan kualitas pribadi Abdul Malik sebelum dan sesudah dia menjadi khalifah. Sebelum menjadi khalifah, Abdul Malik banyak meriwayatkan hadis dan diakui banyak kalangan sebagai salah satu rujukan dalam memecahkan persoalan keagamaan. Kealimannya tersiar luas sebagai orang yang banyak puasa dan salat di masjid serta pecinta al-Qur’an, bahkan dia termasuk yang
menentang ketika Khalifah Yazid mengirim pasukan ke Mekkah memerangi Abdullah bin Zubair.
Ketika Marwan, ayah Abdul Malik, dulu diba’iat menjadi Khalifah, ada perjanjian dengan para syarif di Yaman dan tokoh senior Bani Umayyah bahwa yang menggantikan Marwan nantinya adalah Khalid bin Yazid (saudara tiri Khalifah Muawiyah II yang baru mangkat saat itu), dan setelahnya akan berkuasa Amr bin Sa’id bin al-Ash al-Ashdaq. Namun, Marwan menciderai perjanjian itu, dengan mengangkat putranya sendiri, Abdul Malik, dan kemudian di urutan berikutnya ditentukan pula sebagai khalifah adalah putranya yang lain, yaitu Abdul Azis.
Seperti bisa kita lihat kisah penodaan perjanjian antara Muawiyah dan Sayyidina Hasan terulang kembali di sini. Bukan cuma itu, kisah wafatnya Sayyidina Hasan karena ulah istrinya juga terulang kembali di sini. Demikianlah kekuasaan dan perempuan menjadi bumbu yang menggiurkan, tak terkecuali di masa khilafah.
Imam Thabari dalam kitab Tarikh-nya berkisah bagaimana Marwan, yang khawatir dengan Khalid bin Yazid bakal menggantikan posisinya sesuai perjanjian sebelumnya, mendapat nasihat agar menikahi janda Khalifah Yazid yang tak lain ibunya Khalid. Marwan mengikuti saran itu dan Khalid menjadi anak tirinya sehingga bisa dia kontrol pergerakannya.
Namun Marwan bertindak lebih jauh, dia membunuh karakter Khalid bin Yazid di depan banyak orang dengan mencemooh: “Aku tidak pernah melihat orang lain sebodoh dia!” Khalid tersinggung dan melapor ke ibunya. Ibunya menyuruh Khalid diam dan menyerahkan urusan ini di tangannya.
Maka, suatu malam di saat Marwan tengah tidur, ibu Khalid (yang merupakan salah satu istri Marwan) mendekap Marwan dengan bantal hingga kemudian meninggal. Ini terjadi di bulan Ramadhan tahun 685. Begitulah penuturan Imam Thabari, seorang ahli tafsir, fiqh, dan sejarah yang diakui otoritasnya oleh dunia islam.
Imam Suyuthi menceritakan riwayat dari Ibnu Aisyah bahwa Abdul Malik berada di masjid dan tengah membaca al-Qur’an ketika berita ayahnya, Marwan, wafat. Itu artinya Abdul Malik akan menggantikan ayahnya sebagai khalifah. Abdul Malik menutup mushaf al-Qur’an seraya berpamitan: “Ini masa terakhir untukmu”.
Berdasarkan riwayat inilah kita bisa memahami bagaimana sejak menjadi Khalifah, Abdul Malik berubah total. Dari seorang alim pecinta al-Qur’an menjadi politikus yang tindak-tanduknya tidak lagi mengikuti petunjuk al-Qur’an. Misalnya, Imam Thabari dan Imam Suyuthi melaporkan Abdul Malik membunuh rivalnya, Amr bin Said bin al-Ash al-Ashdaq, yang di bagian atas sudah saya sebutkan seharusnya menjadi khalifah
pengganti Marwan.
Rivalnya yang lain, Khalid bin Yazid, dibiarkan hidup karena mundur dari dunia politik dan memilih menjadi ahli kimia.
Abdul Malik diriwayatkan juga mengakui bahwa dia meminum khamr setelah ibadah. Abdul Malik juga yang mengirim al-Hajjaj bin Yusuf memerangi Abdullah bin Zubair hingga sahabat Nabi ini wafat dengan  tragis. Kekejaman Hajjaj di bawah komando Khalifah Abdul Malik sudah sangat melegenda dan tercatat dalam literatur keislaman.
Abdullah bin Zubair dikenal kealimannya sejak di masa Nabi. Setelah wafatnya Sayyidina Husain di Karbala dan wafatnya Yazid bin Muawiyah, Abdullah bin Zubair dibai’at oleh penduduk Mekkah sebagai Khalifah. Pertarungan perebutan khalifah ini berujung pada kekalahan Abdullah bin Zubair dan berjayanya Dinasti Umayyah.
Atas perintah Abdul Malik, al-Hajjaj berangkat dengan dua ribu pasukan mengepung Mekkah. Masih belum berhasil. Maka dating lagi bala bantuan lima ribu pasukan membantu Hajjaj. Mereka berhasil menduduki kota Thaif. Lantas mengalahkan pasukan Abdullah bin Zubair yang menyingkir.
Tiba musim haji dan Hajjaj memimpin sebagai amirul haj. Namun beliau tidak ikut thawaf dan tidak mengenakan pakaian ihram. Dia membawa pedang dan memakai baju besi. Abdullah bin Zubair tidak bisa berhaji karena tidak bisa masuk ke padang Arafah yang dikuasai Hajjaj.
Peperangan terjadi 6 bulan. Selama pengepungan itu, kota Mekkah dan juga Ka’bah dilaporkan menjadi terbakar akibat panah-panah api yang dilepaskan pasukan Hajjaj. Imam Thabari melaporkan tiba-tiba langit menggelegar dan kilat menyambar seolah melindungi Hajar Aswad dari serangan api panah pasukan Hajjaj.
Pasukan Hajjaj menjadi ragu, namun panglima Hajjaj terus memerintahkan mereka menyerang. Kiswah Ka’bah mulai terbakar, setelah itu kilat menyambar 12 pasukan Hajjaj yang mati seketika. Hajjaj meminta pasukannya untuk tidak mundur, meski banyak yang ragu melihat langit seolah melindungi Ka’bah.
Keesokan harinya ada berita kilat menyambar di sekitar Ka’bah dan kali ini sejumlah pasukan Abdullah bin Zubair terkena. Hajjaj yang mendapat laporan peristiwa itu segera bangkit dan berkata kepada pasukannya: “Lihat mereka kena sambar kilat. Kita dalam keadaan yang benar; dan mereka yang durhaka!” Ternyata sejak dahulu banyak yang mengklaim kebenaran seenaknya sendiri.
Melihat betapa perkasanya pasukan al-Hajjaj, sejumlah sahabat dan penduduk Mekkah mulai meninggalkan loyalitas mereka terhadap Abdullah bin Zubair dan bergabung kepada al-Hajjaj. Imam Thabari melaporkan 10 ribu penduduk Mekkah pindah mendukung Hajjaj, termasuk kedua anak Abdullah bin Zubair, yaitu Hamzah dan Khubayb.
Abdullah bin Zubair pergi menemui ibunya, Asma’ binti Abu Bakar, dan meminta saran. Asma’ yang merupakan putri khalifah pertama, Abu Bakar, meminta anaknya terus bertahan melawan. Abdullah bin Zubair mencium kening ibunya, dan kembai ke medan perang.
Imam Thabari meriwayatkan dengan lengkap dialog anak dan ibu ini. Mereka tahu bahwa hanya tinggal menunggu waktu saja Abdullah bin Zubair akan terbunuh. Sebuah
dialog perpisahan yang sangat mengharukan. Dilaporkan bahwa kemudian Abdullah bin Zubair dibunuh oleh pasukan al-Hajjaj dengan cara kepalanya dipenggal dan tubuhnya disalib. Dan pasukan al-Hajjaj lantas berteriak mengumandangkan takbir.
Ibunya, Asma binti Abu Bakar, menyaksikan itu semua. Begitu juga dengan Abdullah bin Umar. Keduanya masing-masing adalah keturunan dua khalifah pertama dalam Islam: Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Mereka menyaksikan takbir disuarakan atas pembunuhan yang begitu kejam bertempat di tanah suci, kota Mekkah. Abdullah bin Zubair wafat saat usianya sekitar 68 tahun.
Sejarah politik kekhilafahan mengandung berbagai pengkhianatan, peperangan, perebutan kekuasaan hingga pembunuhan dan intrik-intrik politik. Ada yang berargumen bahwa sejarah demokrasi pun seperti itu. Benar, namun demokrasi tidak pernah mengklaim dirinya bagian dari ajaran kesempurnaan agama tertentu. Demokrasi dimulai dari ide manusia yang lemah dan banyak kekurangan namun kemudian belajar memperbaiki sistemnya dengan berkaca dari pengalaman sejarah.
Sistem khilafah kebalikannya: mengklaim sempurna karena dianggap bagian dari kesempurnaan ajaran Islam, tidak punya kelemahan, menjadi jawaban dari berbagai persoalan dan karena telah dianggap sempurna, maka tidak mau belajar dari kesalahan dan kekacauan yang terjadi.
Akibatnya, kita melihat demokrasi semakin lama semakin diperbaiki praktiknya; sedangkan sistem khilafah menutup diri dari perbaikan hingga akhirnya tumbang. Lakon khilafah selesai.
Maka, kita perlu terus ngaji sejarah politik Islam agar kita bersedia belajar dari kesalahan masa lalu dan terus berusaha membenahi kondisi umat. Itu hanya bisa kita lakukan jikalau kita mampu mengakui bahwa sistem pemerintahan khilafah itu tidak sempurna.
Bagaimana Anda bisa belajar dari kesalahan masa lalu kalau Anda merasa khilafah
adalah solusi umat? Solusinya saja bermasalah, kok!

Masjid Bunda Maria di Uni Emirat Arab

Penulis : PROF. SUMANTO AL QURTUBY
Sumber : https://www.facebook.com/Bungmanto/posts/10158930722250523?pnref=story

Belum lama ini, Sheikh Muhamed bin Zayid Al Nahyan, penguasa Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), mengeluarkan surat perintah untuk mengganti nama masjid megah "Masjid Sheikh Mohamed bin Zayid" (namanya sendiri) menjadi "Masjid Maria Ibu Yesus" (Maryam Umm 'Isa). Sejumlah tokoh agama Muslim & Kristen berfoto bersama di masjid tersebut (courtesy: Khaleej Times).
Penggantian nama ini dimaksudkan untuk menciptakan relasi sosial yang harmoni antar masyarakat agama di UEA yang memang sangat majemuk.
Menteri Negara Urusan Toleransi Sheikha Lubna sangat mengapresiasi pengubahan nama tersebut sebagai simbol toleransi dan koeksistensi damai antar-pemeluk agama, khususnya umat Kristen. Demikian pula sejumlah tokoh agama dan petinggi negara seperti Sheikh Mohammed bin Rasyid Al Maktoum dan Mohammed Matar Al Kaabi.
Sejumlah tokoh Kristen di UEA juga mengapresiasi sangat positif penamaan ini seperti Rev. Canon Andrew Thompson dari Gereja St. Andrew, tetangga Masjid Maria tersebut. Gerejanya dan juga gereja-gereja lain di UEA juga menyediakan acara buka puasa bersama untuk para pekerja Muslim migran.
Agama sebetulnya mengajarkan harmoni, kerukunan dan perdamaian yang sangat indah. Tapi sayang banyak pemeluknya yang justru terperangkap ke dalam lingkaran setan kekerasan, kebencian dan permusuhan.

Thursday 15 June 2017

Pancasila Yes, Islamisme No

Penulis : PROF. SUMANTO AL QURTUBY
Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber : http://www.dw.com/id/pancasila-yes-islamisme-no/a-39252094

Klaim bahwa “Negara Pancasila” sebagai konsep politik-pemerintahan dan ketatanegaraan yang tidak Islami dan jauh dari norma-norma dan nilai-nilai keislaman sebuah propaganda semata. Demikian opini Sumanto Al Qurtuby.

Belakangan santer bergema suara-suara yang ingin mengganti Ideologi Negara Pancasila dengan apa yang mereka klaim sebagai "Ideologi Islam”. Yang menggemakan penggantian Pancasila ini adalah sejumlah elit politik, tokoh agama, aktivis Muslim, dan ormas Islamis dari berbagai kelompok dan faksi keislaman, bukan hanya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) saja yang selama ini memang dikenal begitu semangat dan heroik hendak mengganti Pancasila, UUD 1945, dan aneka sistem hukum-politik-pemerintahan Republik Indonesia (RI) karena dipandang sebagai tidak Islami dan produk kebudayaan kafir-sekuler.
Khusus untuk HTI (sebagaimana doktrin Hizbut Tahrir), yang di Indonesia sudah dibubarkan oleh pemerintah (secara politik), kelompok ini "bernafsu” sekali mengubah seluruh bangunan politik-pemerintahan RI dengan "Negara Khilafah” yang menurut mereka diklaim sebagai lebih Islami dan "lebih syar'i”. 
Saya ingin menyebut kelompok ini sebagai "kaum Islamis”, yaitu kelompok yang berpegang teguh pada atau ingin memperjuangkan "filosofi” dan ideologi Islamisme. Islamisme adalah sebuah gerakan reformasi yang mengadvokasi penataan ulang tatanan, sistem, dan struktur pemerintah dan masyarakat sesuai dengan apa yang kaum Islamis klaim sebagai "aturan dan hukum Islam”.
Bassam Tibi, seorang ahli kajian Islam politik ternama di University of Gottingen, Jerman, dalamIslamism and Islam (2012) mendefinisikan "Islamisme” sebagai sebuah gerakan fundamentalis berbasis politik atau sebuah ideologi politik yang berdasar pada "a reinvented version of Islamic law”. Bagi Tibi, apa yang kaum Islamis klaim sebagai "aturan dan hukum Islam” mengenai tatanan politik-pemerintahan dan ketatanegaraan itu pada hakikatnya hanyalah sebuah pemahaman dan penafsiran ulang atas sejumlah teks, wacana, doktrin, dan norma kepolitikan dalam Islam atau penjabaran ulang tentang "fiqih politik” (fiqh al-siyasah) sesuai dengan perkembangan sosial-politik kontemporer.
 "Rekayasa sosial”  untuk politik
Dengan demikian Islamisme adalah sebuah "rekayasa sosial” kaum Islamis untuk menjadikan Islam semata-mata sebagai "organ politik”. Awalnya, ide dan gerakan ini sebagai reaksi atas kolonialisme Eropa dan imperialisme Barat tetapi dalam perkembangannya juga disebabkan oleh sejumlah faktor sosial-politik lokal (termasuk rezim politik Muslim yang berhaluan sekuler, liberal, sosialis, atau nasionalis) dimana kaum Islamis itu berasal atau berada. Pula, Islamisme bukan hanya berkembang di kalangan Sunni tetapi juga Syiah. Para tokoh, ideolog, dan pemikir utama ideologi Islamisme ini antara lain Abul A'la Maududi (w. 1979), Sayyid Qutb (w. 1966), Imam Khomeini (w. 1989), Muhammad Qutb (w. 2014), dlsb.
Jadi jelaslah bahwa Islamisme itu berbeda secara substansial dengan Islam yang merupakan sistem keimanan, agama, dan jalan hidup kaum Muslim yang mencakup sebuah aspek kehidupan umat manusia: sosial, intelektual, kultural, ritual, spirtiual, dlsb, bukan melulu masalah kepolitikan.
Islamisme juga berbeda dengan Salafisme, Wahabisme, Jihadisme, atau Fundamentalisme misalnya karena tidak semua ideologi dan gerakan ini berorientasi politik-kekuasaan. Banyak dari kelompok Salafi-konservatif ini (baik klasik maupun kontemporer) yang hanya bertujuan untuk melakukan "reformasi moral-kultural-teologikal-keagamaan” masyarakat saja, tidak memiliki keinginan, tujuan, dan tendensi politik praktis untuk mendirikan sebuah negara atau pemerintah dengan sistem politik berbasis Islam.
Karena karakter politik yang begitu kuat dalam Islamisme, maka sejumlah sarjana kadang-kadang menyamakan atau menyebut Islamisme dengan "Islam politik”. Lihat beberapa studi tentang ini, misalnya, Asef Bayat (Post-Islamism: The Changing Faces of Political Islam) atau Richard Martin dan Abbas Barzegar (Islamism: Contested Perspectives on Political Islam).
Mengatasnamakan dogma
Berdasarkan penjelasan singkat ini, maka jelaslah bahwa apa yang kaum Islamis di Indonesia klaim sebagai pendirian negara berbasis Islam, pada praktiknya adalah berdasar "Islamisme” ini. Islam sebagai sebuah agama tidak pernah mengatur tentang bentuk, sistem, dan mekanisme politik-pemerintahan dan ketatanegaraan. Tidak ada juklak dan juknis yang baku dan terang-benderang tentang hal ini di dalam agama Islam.
Jika disimak dengan seksama, Al-Qur'an dan Hadis juga hanya memuat tentang etika, norma, moralitas, tata-nilai, dan tanggung jawab sebuah "pemimpin politik”, bukan desain sistem politik-pemerintahan. Islam hanya menanamkan tentang pentingnya keadilan, keamanan, ketenteraman, kedamaian, dan kemakmuran sebuah masyarakat tidak peduli mereka tinggal dan hidup dalam sistem monarkhi, demokrasi, teokrasi, teodemokrasi, republik, komunisme, sosialisme, dlsb. Dengan kata lain, Islam hanya mewacanakan tentang "substansi” atau "isi” bukan "bungkus” dan "kulit permukaan”.
Dalam sejarahnya, Islamisme tidak menjamin sebuah negara, kawasan, dan masyarakat didalamnya menjadi adil-makmur hidup sejahtera aman tenteram dan sentosa. Sebaliknya, dalam bingkai Islamisme, negara justru tenggelam dalam keterpurukan dan ketidakadilan. Masyarakat hidup mencekam dalam ketakutan dan kebiadaban karena diteror oleh kaki-tangan rezim Islamis yang mengatasnamakan dogma dan Tuhan.
Salah satu contoh nyata dari sebuah negara di bawah Islamisme ini adalah Afganistan di zaman rezim Taliban, 1996–2001. Di bawah kendali Mullah Mohammed Omar dan Mullah Mohammad Rabbani Akhund, Afganistan yang waktu itu bernama Emirat Islam Afganistan, bukannya maju pesat dan menjadi masyarakat berperadaban malah hancur-lebur berkeping-keping untuk kesekian kalinya (simak buku cemerlang karya Thomas Barfield, Afghanistan: A Cultural and Political History).
Jadi, "Negara Islam” (atau "Negara Khilafah Islam”) yang dikampanyekan dan dipropagandakan oleh sejumlah kalangan Islamis di Indonesia yang menjanjikan adanya kemakmuran, keadilan, ketenteraman, kedamaian, dlsb hanyalah "pepesan kosong” dan "janji-janji surga” belaka.
Klaim kaum Islamis bahwa "Negara Pancasila” sebagai sebuah konsep politik-pemerintahan dan ketatanegaraan yang tidak Islami dan jauh dari norma-norma dan nilai-nilai keislaman juga sebuah propaganda semata untuk menarik simpati masyarakat awam yang buta wawasan keislaman dan sejarah Islam politik dan politik Islam.
Pancasila sudah sangat Islami
Sebagai sebuah filosofi, fondasi kebangsaan, dan ideologi negara Republik Indonesia, Pancasila sudah sangat Islami dan Qur'ani karena kelima silanya berbasis pada (dan mendapat rujukan kuat dalam) ayat-ayat Al-Qur'an dan praktik kenabian. Jika Pancasila tidak sesuai dengan Islam dan Al-Qur'an, tentu saja para tokoh Muslim dan pendiri bangsa yang terlibat merumuskan Dasar Negara Republik Indonesia ini tidak akan menyetujui dan merestuinya. Itulah sebabnya para ulama NU berpengaruh seperti KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Abdul Wachid Hasyim, KH Ahmad Siddiq, KH As'ad Syamsul Arifin, dlsb dengan lantang membela dan mempertahankan Pancasila dari rongrongan kelompok anti-Pancasila.
Pancasila juga dinilai sangat tepat untuk bangsa dan negara Indonesia karena watak dan karakternya yang sangat merangkul semua agama, golongan, etnis, suku, dan ras yang sangat majemuk di Tanah Air tercinta ini. Pancasila juga dinilai paling pas dan tepat karena ia merupakan produk atau hasil kesepakatan bersama para Bapak Pendiri Bangsa yang tentunya bukan hanya kaum Muslim saja. Para founding fathers seperti Sukarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, KH Abdul Wachid Hasyim, Agus Salim, Alexander Andries Maramis, Ahmad Soebardjo, Ki Hadikusumo, dlsb, adalah para pendiri bangsa yang sudah dengan susah payah merumuskan Pancasila sebagai fondasi kenegaraan-kebangsaan Republik Indonesia. Sebagai sebuah ideologi negara dan fondasi kebangsaan, Pancasila sudah final. 
Kini, tugas kita bersama sebagai warga negara Indonesia—apapun agama dan etnis kita—untuk merawat, menjaga, memelihara, membela, sekaligus mengimplementiskan nilai-nilai ideal Pancasila dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara, bukan malah bersikeras untuk mendongkel dan menggantinya dengan ideologi-ideologi baru yang tidak jelas.
Akhirul kalam, bagiku, demi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara yang lebih baik di masa mendatang: Pancasila Yes, Islamisme No.   


Kurma

Ditulis oleh : PROF. SUMANTO AL QURTUBY

Anda tahu kurma? Ya jelas tahu dong, masak nggak sih? Anda pernah makan kurma? Pasti sudah ya, masak belum sih? Tahukah Anda kalau kurma itu bukan hanya ada di Saudi dan memang asal-usulnya bukan dari kawasan yang sekarang bernama Saudi? Kalau pertanyaan yang terakhir ini, saya agak ragu kalau Anda sudah tahu atau belum. Tapi karena ini bulan puasa, saya berprasangka baik aja deh kepada kalian he he.
Kurma (Inggris: date, Arab: tamr) asal-usulnya dari Mesopotamia (kini Irak) dan Lembah Indus. Dari kawasan ini kemudian tersebar ke berbagai wilayah Timur Tengah. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa kurma telah ada sejak beribu-ribu tahun Sebelum Masehi di zaman kuno peradaban Mesopotamia maupun prasejarah Mesir. Bukan hanya menjadi makanan pokok masyarakat Timur Tengah, kurma juga diolah menjadi anggur. Selain Timur Tengah, kurma juga ditemukan di kawasan Mehrgerh di Pakistan dan area Lembah Indus lain.
Dari Timur Tengah, kemudian kurma diperkenalkan oleh para pengelana, pedagang, dan masyarakat nomad ke berbagai kawasan di dunia termasuk Afrika, Eropa, Amerika Utara dan Amerika Latin.
Kini, Kurma telah menyebar hampir merata di kawasan Arab dan Timur Tengah: Saudi, Irak, Iran, Aljazair, Libya, Mesir, Sudan, Maroko, Emirates, Tunisia, Oman, Israel, Yordania, Yaman, Turki, dslb. Masing-masing negara membanggakan jenis kurma di negaranya sebagai yang paling enak, paling lezat, dan paling aduhai.
Orang Aljazair misalnya membanggakan kurma iteema, orang Tunisia bilang kurma kenta yang paling yahud, warga Arab Emirates bilang kurma lulu atau khenaizi yang paling lezat, kata orang Libya kurma abil yang paling oke, sementara orang Sudan menyebut kurma barakawi yang paling oye. Jika orang Oman bilang kurma fard yang paling hebring, warga Maroko bilang kurma majdul yang paling uueenaakk.
Bukan hanya antar-negara saja, antar-daerah di sebuah negara juga saling berlomba adu-keenakan. Di Saudi, ada banyak sekali jenis kurma: sukkari, rotab, ajwah, khunaizi, khalasah, dlsb, yang masing-masing menjadi kebanggaan daerah penghasil kurma itu. Orang Qassim menyebut sukkari yang paling oke, sementara orang Madinah menyebut kurma ajwah yang paling top. Nah, kurma ajwah inilah yang disebut dalam hadis Nabi Muhammad.
Negara produser kurma terbesar adalah Mesir, kemudian disusul Iran, lalu Saudi, Irak, Pakistan, Uni Emirat Arab, Aljazair, Sudan, Oman, dlsb. Jadi, meskipun bukan Saudi sebagai produser kurma terbesar, banyak orang masih menganggap bahwa Saudi-lah sebagai "pusat kurma" di dunia ini.
Kemarin, saat saya hendak berbuka di sebuah warung di Singapura, terjadilah dialog singkat antara penjual (P) dan saya (S).
P: "Sudah buka puasa, kah?"
S: "Ini saya mau buka puasa, Pak", jawabku. Mungkin karena melihat tampangku yang Melayu jadi asumsinya Muslim dan kalau Muslim ya berarti puasa he he.
P: Kalau begitu, silakan makan kurma ini dulu Pak. Ini kurma asli dari Arab Pak. Sunah rasul kalau makan tuh kurma.
S: Arab mana Pak?
P: Ya Arab Saudi. Mana Lagi? Kurma kan hanya ada di Makah dan Madinah sebagai warisan dari Nabi Muhammad untuk umat Islam.
S: Oo begitu ya Pak. Terima kasih Pak atas penjelasannya. Saya mau makan dulu ya Pak. Nyem nyem nyem...

Wednesday 14 June 2017

Jilbab Kristen Arab Lebanon

Ditulis Oleh : SUMANTO AL QURTUBY
Sumber : https://www.facebook.com/Bungmanto/posts/10157442204770523

Saya sering mengelus dada atau geleng-geleng kepala memperhatikan tingkah-polah lucu-lucu sejumlah kaum Muslim dan Muslimah di Indonesia, khususnya mereka yang semangat keislamannya terlalu tinggi tetapi tidak diiringi dengan wawasan sejarah-sosial-kultural-keagamaan yang memadai.
Karena "besar pasak daripada tiang", akibatnya sering kali "menggelikan" alias "unyu-unyu" kalau berkomentar. Misalnya, mereka bilang kalau hijab itu hanyalah "properti Islam" saja karena itu jika ada non-Muslimah yang berhijab dianggap sebagai pelecehan terhadap Islam, penghinaan terhadap ajaran Al-Qur'an, atau penghinaan terhadap kaum Muslim. Wong pakai hijab kok dianggap menghina itu rumusnya apa?
Bukan hanya itu, berhijab juga dipandang sebagai simbol "hijrah keimanan" dari non-Muslimah menjadi Muslimah, dari "kebengkokan" menuju "kelurusan". Mereka juga bialng kaum perempuan, khususnya Muslimah, kalau sudah berhijab berarti sudah mendapatkan hidayah atau petunjuk dari Tuhan. Perempuan berhijab pulalah, kata mereka, kelak yang akan merasakan aroma surga yang aduhai rasanya.
Begini ya, soal hidayah, keimanan, keislaman, apalagi surga itu tidak ada urusannya dengan selembar kain bernama hijab atau apapun namanya. Hijab, seperti yang sudah sering saya sampaikan, juga bukan melulu milik Islam. Jauh sebelum Islam lahir di Jazirah Arab, umat Yahudi dan Kristen sudah mempraktekkan hijab, sebuah tradisi yang masih dipraktekkan hingga kini oleh sebagian saudara-saudara seiman kita dari Kristen dan Yahudi. Jadi tidak perlu "main klaim" kalau hijab itu milik Islam, nanti malah malu-maluin kelihatan kalau otaknya masih orisinal.
Di bawah ini hanyalah contoh kecil sekelompok perempuan Kristen Maronite di Lebanon, yang seperti kaum Muslimah, juga berhijab. Seperti di Indonesia, tidak semua perempuan Kristen di Lebanon berhijab. Tetapi tidak seperti Muslimah Indonesia yang minim Bahasa Arab, para perempuan Kristen Lebanon berbahasa Arab karena memang itu bahasa nenek-moyang mereka. Bahasa Arab mereka tentu saja jauh lebih fasih ketimbang kaum Muslimah Indonesia yang suka berabi-umi atau berakhi-ukhti itu.
Di Temur Tengah, selain Mesir dan Suriah, Lebanon adalah kawasan yang cukup padat penduduk Kristennya. Sekitar 40% penduduk Lebanon adalah Kristen (mayoritas pengikut Kristen Maronite, kemudian Katolik Roma, terus Kristen Ortodoks Timur, dlsb). Karena itu di Lebanon, banyak tokoh Kristen menempati posisi penting dan strategis di struktur pemerintah, parlemen, maupun jabatan publik lain, berdampingan dengan Syiah dan Sunni.
Sejarah Kristen di Lebanon sudah sangat tua, setua lahirnya agama Kristen sendiri. Konon Yesus pernah singgah di kota Tyre (Sur atau Sour) di bagian selatan Lebanon, dimana Dia menyembuhkan sejumlah anak-anak Canaan. Kemudian, Santo Peter juga konon pernah berdakwah di kawasan ini. Pendakwah paling melegenda tentu saja adalah Santo Maron di abad ke-4 M, seorang pendeta Kristen Suriah, yang menyebarkan iman Kristen di Lebanon. Nama Kristen Maronite yang menjadi mayoritas umat Kristen di Lebanon saat ini adalah diambil dari namanya.
Jadi, sudah paham belum bapak-ibu, sodare-sodare...

Masjid Canton dan Sejarah Islam di China

Ditulis Oleh : PROF. SUMANTO AL QURTUBY
Sumber : https://www.facebook.com/Bungmanto/posts/10157943211350523

Ini melanjutkan “kuliah virtual” tentang sejarah dan perkembangan Islam di China (Tiongkok). China bukan hanya rumah bagi pemeluk Konghucu, Taoisme, Budha, atau pengikut non-teis dan ateis, tetapi juga umat Islam. Menurut data yang dirilis oleh Yang Zongde pada tahun 2010 dalam karyanya, Study on Current Muslim Population in China, ada sekitar 23 juta kaum Muslim di China atau sekitar 1,7% dari total penduduk. Dengan begitu, jumlah umat Islam di China jauh lebih besar ketimbang kaum Muslim di Qatar, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, Yordania, Palestina, dlsb. Arab Saudi saja sebagai negara paling luas dan gemuk di kawasan Arab Teluk hanya berpenduduk sekitar 30 juta.
Mayoritas Muslim di China beretnik Hui, kemudian Uyghur yang merupakan campuran etnik Turki yang mendiami kawasan Asia Tengah dan Timur. Xinjiang adalah kawasan Muslim terpadat di China, disusul Ningxia, Gansu, dan Qinghai. Sebagian besar penduduk Muslim China beraliran Sunni, meskipun pengikut Syiah juga lumayan banyak. Menariknya, tidak ada catatan tentang konflik Sunni-Shiah di China.
Perlu diketahui, usia Islam di China jauh lebih tua ketimbang Islam di “Indonesia”. Para sejarawan ahli China Islam seperti Dru Gladney, Marshall Broomhall, C. Sell, Muhammad Fu, Ibrahim Tien Yin Ma, dlsb, mencatat Islam sudah masuk ke China sejak awal perkembangan Islam itu sendiri. Para sahabat Nabi Muhammad sendirilah yang mula-mula memperkenalkan Islam ke China. Diantara para sahabat Nabi yang memperkenalkan Islam di China adalah Sa’ad bin Abi Waqqash, Hassan bin Tsabit, Suhaila Abu Arja, Wahab bin Abu Kabsyah, dan Uwais al-Qarani. Mereka mencapai China ada yang melalui “jalur maritim” atau daratan (dikenal dengan Silk Road atau “Jalur Sutera”). Ada para sahabat Nabi yang bahkan “kombak-kambek” alias bolak-balik ke China baik urusan perdagangan maupun dakwah.
Di antara sekian sahabat Nabi yang memperkenalkan Islam di China, Sa’ad bin Abi Waqqash-lah yang paling senior dan terkenal. Konon beliau adalah paman Nabi Muhammad dan pemeluk Islam yang ke-17. Beliau juga pernah menjadi Gubernur Basrah. Beliau dipercaya wafat di Guangzhou, China, dan makamnya hingga kini masih ramai diziarahi kaum Muslim.
Sa’ad bin Abi Waqqash jugalah yang diutus secara resmi oleh Khalifah Usman bin Affan untuk menemui Kaisar Gaozong guna menjalin “hubungan diplomatik” dengan Dinasti Tang. Untuk mempererat persahabatan dengan Arab dan Islam sekaligus untuk mengenang Nabi Muhammad, Kaisar Gaozong kemudian menginstruksikan pembangunan masjid di Canton yang bernama Masjid Huaisheng atau populer dengan sebutan Masjid Raya Canton yang dibangun tahun 627 (seperti dalam foto di bawah ini). Oleh sejarawan, masjid ini dianggap sebagai masjid tertua di dunia setelah Masjid Haram di Makah dan Masjid Nabawi di Madinah.
Setelah jejak-jejak Islam di China disemai oleh para sahabat, kelak tradisi hubungan persahabatan Islam dan China ini dilanjutkan oleh Daulah Ummayah dan Daulah Abbasiyah serta rezim-rezim Islam berikutnya. Di China pun, hubungan baik dengan Islam terus berlanjut paska tumbangnya Dinasti Tang. Kelak, Islam di China mengalami puncak kejayaan di masa Dinasti Yuan dan kemudian Dinasti Ming (bersambung).

Pamer Kedekatan dengan Tuhan

Ditulis Oleh : NADIRSYAH HOSEN
Sumber : https://www.facebook.com/NadirsyahHosen/posts/1891804967734447

Kalau anda merasa dekat dg pejabat atau artis boleh lah dipamerkan, tapi kedekatan dg Tuhan tdk utk dipamerkan. Kenapa? Begini penjelasannya.
Kedekatan dg sesama manusia itu hal yg wajar: bisa selfie, slg mention atau follbek. Pejabat, tokoh atau artis itu jg manusia, sama dg kita.
Relasi dg sesama via medsos itu fitrah kita selaku manusia utk slg mengenal, bekerjasama, dan silaturahmi, jd silakan ditunjukkan di publik.
Namu relasi dengan Tuhan itu berbeda. Tidak utk diumbar apalagi dipamerkan via medsos, mengapa demikian? Karena ini soal hati yg plg dalam.
Semakin dekat anda dengan Tuhan, semakin anda hendak merahasiakannya. Semakin merunduk dan semakin merendahkan diri serendah-rendahnya.
Kalau pejabat/artis butuh dukungan anda sbg konstituten atau fans, Tuhan tdk butuh anda sbg hamba apalagi kekasih. Kitalah yg membutuhkanNya.
Tuhan terlepas dari sebab akibat. Tuhan tidak dibebani kewajiban mengabulkan pinta hanya karena kita rajin beribadah.
Sejak kapan Tuhan bisa disogok oleh ibadah kita yg gak ada apa-apanya itu, atau oleh keluh kesah kita yg berisik itu? Tuhan bebas semau Dia.
kita tdk bisa mengklaim peristiwa ini dan itu terjadi karena doa dan ibadah kita, maka kita tdk bisa pamer terkabulnya doa kita di medsos.
Mengklaim terkabulnya doa atau pamer kedekatan dg Tuhan itu justru pagar keakuan diri yg bukannya kita hancurkan tp malah kita tinggikan.
Agama mengajarkan doa kebaikan, kita malah mendoakan org lain celaka di medsos. Agama mengajarkan kita menebar rahmat, bukan laknat.
Celakanya bukan saja pamer merasa dekat dg Tuhan, kita juga bersorak atas musibah org lain, seolah Allah mengazabnya. Tahu dari mana bro?
Tdk ada yg bisa memastikan musibah itu sbg cobaan atau azab. Tdk ada yg bisa memastikan sukses atau gagal itu akibat doa kita atau org lain.
Maka dibutuhkan kerendahan hati untuk mendekati Sang Maha Tinggi. Kita harus kosong dr keinginan agar hati kita dipenuhi oleh kehendakNya.
Siapa yang memelihara keinginannya, maka setan akan mengendarainya. Siapa yang berserah diri padaNya, maka Allah akan membimbingnya.
Siapa yang merasa dekat dg Tuhan, maka Tuhan akan menjauh darinya. Siapa yang merasa suci, maka sejatinya dia sangat kotor.
Semakin dekat kita dg Tuhan, akan semakin kita merasa kotor, bukan merasa suci; semakin merasa tdk layak, bukan malah pamer koar2 di medsos.
Yang merasa bertindak atas namaNya, akan dihinakanNya. Yang merasa hamba padaNya, akan diangkat ke tempat yang mulia.
Yang merasa bodoh, akan ditambahi ilmuNya. Yang merasa tahu segalanya, akan dipermalukanNya. Yang merasa faqir, akan diberi.
Sekali lagi, jebakan setan itu amat tipis. Kedekatan dg Tuhan tdk bisa dipamerkan. Itu rahasia antara kita dengan Tuhan.
Kalau anda pamer rahasia anda dg Tuhan, artinya anda tdk merasa cukup denganNya, anda seolah masih butuh pengakuan org lain.
Anda butuh pengakuan org lain bhw anda dekat dg tokoh ternama, maka anda pamerkan, tapi anda tdk boleh pamer kedekatan anda dg Tuhan.
Smg bulan puasa ini kita semakin menyembunyikan diri kita dlm peluk mesraNya. Puasa itu ibadah sunyi. Latihan merahasiakan hub kita dg Tuhan.
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Baca juga : 

Kepatuhan Pada Hukum: Indahnya Ajaran Islam


Tuesday 13 June 2017

Umat Islam Tidak Akan Pernah Masuk Surga

Ditulis Oleh : PROF. SUMANTO AL QURTUBY
Sumber : https://www.facebook.com/Bungmanto/posts/10158786489270523?pnref=story



Banyak umat Islam di Indonesia yang sibuk membicarakan surga dan dengan pedenya akan masuk surga kelak di alam akhirat. Tetapi mereka mungkin lupa atau memang tidak tahu bahwa konsep surga itu sesungguhnya berasal dari tradisi Hindu (atau Buddhisme dan Jainisme) di India.
Seharusnya umat Hindu atau Budha yang sering-sering membahas konsep surga ini supaya lebih akurat maknanya. Bukan umat Islam. Eh, malah (sebagian) umat Islam menganggap kaum Hindu dan Budha tidak masuk surga. Kepriben sih rika? Wong mereka yang punya surga kok malah dianggap nggak bakalan masuk surga. Justru umat Islam yang nggak akan masuk surga he he.
Begini ceritanya...
Dalam kosmologi Hindu, ada delapan "loka" atau "dunia", dan salah satunya adalah "swarga loka" atau biasa disingkat "swarga" atau "svarga" (dalam Bahasa Sanskrit). Swarga ini adalah tempat atau "alam transisi" para "roh baik" dari orang-orang yang berbuat baik selama hidup di dunia. Roh-roh baik ini ditempatkan di swarga karena belum siap untuk "mokhsa", yaitu sebuah proses pembebasan diri dari "samsara" atau belum siap untuk diangkat / menuju Vaikunta.
Jadi, secara konseptual, konsep swarga dalam umat Hindu itu jelas berbeda dengan konsep "surga" yang dipahami oleh umat Islam Indonesia. Konsep surga di kalangan Muslim Indonesia itu merupakan terjemahan dari kata Arab (Al-Qur'an) "jannah" (yang berarti kurang lebih sama dengan kebun atau taman).
Penerjemahan kata "jannah" menjadi "surga" saya kira kurang tepat. Sama tidak tepatnya dengan penerjemahan kata "auliya" dengan "pemimpin pemerintahan" karena kata yang tepat untuk "pemimpin pemerintahan" itu "wulah", bukan "auliya".
===================================================
ORDER NOW!!!
Professional customlogo design and web design services by LogoBee.com
Save $20 from any logo design package or $50 from any web design solution by entering this coupon number: 4284
===================================================
Di kalangan umat Islam di India dan Pakistan sendiri, mereka tidak menerjemahkan kata "jannah" menjadi "surga" karena mereka tahu kalau kata "swarga" itu "sangat Hindu" dan karenanya tidak tepat untuk dijadikan sebagai pengganti kata "jannah". Mereka menerjemahkan kata "jannah" dengan "jannat" bukan "swarga/svarga".
Oleh karena itu saya kira tidak benar kalau Zakir Naik bilang "umat Islam akan masuk surga" karena ia pasti anti-Hindu dan konsep-konsepnya (termasuk "surga" ini). Bagi Zakir Naik, tentu saja umat Islam (yang sepaham dengannya) akan masuk "jannat" bukan surga". Kalau Zakir Naik tahu bahwa omongannya "disalahartikan", pasti ia marah: acha acha, nehi nehi he he.
Jadi, dari pada ribut ngomongin "surga" yang kalian sendiri tidak paham asal-usulnya (sama seperti orang Arab Muslim ori juga nggak bakalan tahu dan paham kata "surga" ini he he), mungkin akan lebih baik kalau kalian ngomongin "jannah" atau "kebun" saja he he. Mari kita rajin berjannah atau berkebun, supaya pisangnya semakin tumbuh subur laksana pisang ambon yang aduhai gedenya he he

Kepatuhan Pada Hukum: Indahnya Ajaran Islam

Ditulis Oleh : NADIRSYAH HOSEN
Sumber : https://www.facebook.com/NadirsyahHosen/posts/1893299547584989

Islam datang menegakkan kembali hukum dan keadilan. Jika pembesar berbuat curang, maka ia harus dihukum. Semua sama di depan hukum. Nabi SAW bersabda: "jikalau seandainya Fatimah putriku mencuri, niscaya aku potong tangannya" (HR Bukhari-Muslim). Rusaknya tatanan hukum, bila hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Tentu Fatimah az-Zahra tidak pernah mencuri. tapi pengandaian yang Nabi berikan itu menohok semua pihak. Nabi tidak akan melindungi keturunannya sendiri jikalau seandainya keturunan beliau, darah daging beliau, melakukan tindak kriminal.
Bahkan dikisahkan dalam kitab Subul al-Salam, keadilan dan persamaan hukum itu juga berlaku tak pandang bulu. Inilah salah satu kisah yang menggetarkan bagaimana ajaran Islam berdiri kokoh menopang keadilan dan asas persamaan di depan hukum sejak seribu empat ratus tahun yang lalu.
Suatu hari, Khalifah Ali bin Abi Thalib kehilangan baju besinya yang jatuh dari untanya. Beliau melihat baju itu di tangan seorang Yahudi. Beliaupun berseru kepada orang Yahudi itu: "Wahai, Fulan. Itu adalah baju besiku yang tempo hari jatuh dari untaku".
Orang Yahudi menjawab: "Ini baju besiku, karena sekarang ada di tanganku," tetapi orang Yahudi itu berkata lagi: "Sudahlah! Permasalahan ini biar diselesaikan oleh hakim saja." Lantas keduanya pergi ke Syuraih yang saat itu menjabat sebagai Qadhi/Hakim. Syuraih sendiri diangkat oleh Khalifah Ali. Tapi apa Syuraih langsung tunduk pada Khalifah dan memenangkannya? Tidak. Syuraih menempuh prosedur hukum acara yang sama.
Syuraih meminta Khalifah Ali mendatangkan dua orang saksi, maka beliau pun kemudian memanggil Qanbara (bekas budak beliau) bersama Hasan (putra beliau). Setelah didatangkan dua saksi, lantas Syuraih berkata: "Untuk saksi Qanbara, kami bisa menerimanya. Tetapi untuk saksi putra anda, kami tidak bisa menerimanya."
Sebagai seorang anak, tentu kecenderungannya adalah membela sang Ayah. Maka kesaksian Sayyidina Hasan tidak bisa diterima oleh Syuraih karena unsur kekerabatan. Saksi harus adil. Ini yang dipegang oleh Syuraih.
Khalifah Ali mencoba berargumen dengan mengatakan bahwa putranya Hasan adalah pemuka penduduk surga, sesuai Hadis dari Nabi yang didengar oleh Umar Bin Khattab. Bagaimana mungkin seorang seperti Sayyidina Hasan ditolak menjadi saksi? Syuraih tetap menolaknya karena bukan masalah surga-neraka yang merupakan urusan akherat, akan tetapi ini ada prosedur hukum yag harus ditempuh dan dikuti semua pihak yang berpekara, termasuk Khalifah sendiri.
Kealiman pribadi, hafal Qur'an, menyandang predikat keturunan Nabi, semuanya sama di depan hukum dengan seorang Yahudi. Yang menjadi ukuran adalah keadilan dan ketidakberpihakan saksi serta validitas bukti yang disodorkan dalam ruang pengadilan.
Satu saksi tidak bisa diterima, maka kalahlah Khalifah Ali. Karena saksi itu harus dua. Beliau tidak bisa membuktikan baju besi yang berada di tangan Yahudi itu miliknya. Siapa yang menuduh, dia yang harus membuktikan. Khalifah menuduh baju besi di tangan Yahudi milik sang khalifah. Ketika Khalifah gagal membuktikan tuduhannya, maka yahudi pun menang.
Apa Syuraih kemudian dipecat? Tidak. Apa Khalifah Ali menggerakkan aksi massa menuduh Hakim menistakan menantu Nabi dan melecehkan cucu Nabi karena menolak kesaksiannya? Tidak. Apa Khalifah Ali terus kabur ke negara lain? Tidak lah mas bro :)
Khalifah Ali menerima keputusan Hakim. Secara substansi beliau benar, namun secara prosedur hukum beliau tidak bisa membuktikannya, sehingga beliau kalah. Dan ini diterima oleh Khalifah.
ٍSingkat cerita, Yahudi ini terpesona dengan ajaran Islam yang menegakkan keadilan dan persamaan hukum. Yahudi tidak bisa membayangkan bagaimana seorang khalifah yang merupakan menantu Nabi, yang mendatangkan saksi seorang cucu Nabi, malah kalah di pengadilan. Walhasil Yahudi tersebut masuk islam, dan Khalifah Ali menghadiahkan baju besi miliknya yang sah itu kepada Yahudi. Yahudi yang sudah masuk Islam ini kelak ikut berjuang dan terbunuh di perang Shiffin. Kisah yang menggetarkan ini berakhir dengan indah.
Pesan moral dari Sabda Nabi soal putrinya, dan dari kisah Khalifah Ali sangat jelas: meskipun keluarga Nabi kalau berurusan dengan hukum semua diperlakukan sama dan harus mengikuti prosedur hukum. Datang ke Pengadilan, panggil saksi dan hadirkan bukti, lantas patuhi apapun keputusan Hakim.
Khalifah Ali tidak menantang Yahudi atau Hakim untuk melakukan mubahalah. Sang Khalifah mengajarkan satu hal penting: patuhi hukum. Inilah keindahan ajaran islam.
Tabik,
Nadirsyah Hosen
ps.
1. Sabda Nabi Muhammad soal putri beliau diambil dari Sahih Bukhari 4/175:
3475 - حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ المَرْأَةِ المَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ، فَقَالُوا: وَمَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالُوا: وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ، ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ، أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الحَدَّ، وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا "
2. Kisah Khalifah Ali, Hakim Syuraih dan Yahudi diambil dari kitab Subul al-Salam, 4/125:
وعن عبد الله بن الزبير رضي الله عنهما قال: "قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن الخصمين يقعدان بين يدي" الحاكم رواه أبو داود وصححه الحاكم وأخرجه أحمد والبيهقي كلهم من رواية مصعب بن ثابت بن عبد الله بن الزبير وفيه كلام قال أبو حاتم إنه كثير الغلط والحديث دليل على شرعية قعود الخصمين بين يدي الحاكم ويسوي بينهما في المجلس ما لم يكن أحدهما غير مسلم فإنه يرفع المسلم كما في قصة علي عليه السلام مع غريمه الذمي عند شريح وهي ما أخرجه أبو نعيم في الحلية بسنده قال وجد علي بن أبي طالب رضي الله تعالى عنه درعا له عند يهودي التقطها فعرفها فقال درعي سقطت عن جمل لي أورق فقال اليهودي درعي وفي يدي ثم قال اليهودي بيني وبينك قاضي المسلمين فأتوا شريحا فلما رأى عليا قد أقبل تحرف عن موضعه وجلس على فيه ثم قال علي لو كان خصمي من المسلمين لساويته في المجلس لكني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: "لا تساووهم في المجلس" وساق الحديث قال شريح ما تشاء يا أمير المؤمنين قال درعي سقط عن جمل لي أورق فالتقطها هذا اليهودي قال شريح ما تقول يا يهودي قال درعي وفي يدي قال شريح صدقت والله يا أمير المؤمنين إنها لدرعك ولكن لا يد لك من شاهدين فدعا قنبرا والحسن بن علي فشهدا إنه لدرعه فقال شريح أما شهادة مولاك فقد أجزناها وأما شهادة ابنك فلا نجيزها فقال عليه السلام ثكلتك أمك أما سمعت عمر بن الخطاب يقول قال رسول الله صلى الله عليه سلم: "الحسن و الحسين سيدا شباب أهل الجنة " قال اللهم نعم قال أفلا تجيز شهادة سيدي شباب أهل الجنة ثم قال لليهودي خذ الدرع فقال اليهودي أمير المؤمنين جاء معي إلى قاضي المسلمين فقضى لي ورضي صدقت والله يا أمير المؤمنين إنها لدرعك سقطت عن جمل لك التقطتها أشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله فوهبها له علي رضي الله عنه وأجازه بتسعمائة وَقُتِلَ مَعَهُ يَوْمَ صِفِّينَ

Perang Melawan ISIS dan Terorisme

Penulis : PROF. SUMANTO AL QURTUBY Sumber :  http://news.liputan6.com/read/3004571/perang-melawan-isis-dan-terorisme?source=search Liput...